Rabu, 12 Juli 2017

CONTOH-CONTOH BID’AH DI MASYARAKAT
Oleh: Ustadz Achmad Rofi’i, Lc.
بسم الله الرحمن الرحيم
السلام عليكم ورحمة الله وبركاته
Alhamdulillah, Allooh سبحانه وتعالى mempertemukan kita kembali untuk meneruskan kajian kita tentang masalah yang penting dalam urusan hidup dan kehidupan kita, termasuk kehidupan kita setelah di dunia ini, dimana bahasan-bahasan yang kita lakukan dalam majlis kita adalah masalah Bid’ah. Masalah Bid’ah adalah urusan-urusan yang dikaitkan dengan Dien(Islam), padahal tidak ada wujud bukti dan fakta serta contoh dariRosuulullooh صلى الله عليه وسلم.
Muslimin dan muslimat yang dirahmati Allooh سبحانه وتعالى,
Kali ini kita membicarakan model-model dan contoh-contoh atau tampilan-tampilan Bid’ah dalam masyarakat dan kehidupan kaum muslimin, dimana pada kesempatan ini akan disampaikan dua perkara Bid’ah, yaitu:
  1. Bid’ah hari ‘Asyuroo,
  2. Bid’ah Mauludan Nabi Muhammad صلى الله عليه وسلم.
Mudah-mudahan dua perkara tersebut bisa kita selesaikan pembahasannya dan kita tuntaskan pada pertemuan kali ini, dan insyaa Allooh pada pertemuan yang akan datang kita lanjutkan dengan membahas bentuk-bentuk Bid’ah yang lain. Dan mungkin akan kita urutkan sesuai dengan urutan bulan.
Pertama, bid’ah pada bulan Muharrom, yang biasa dilakukan oleh kaum muslimin, yang mengatas-namakan syi’ar Islam pada bulan Muharrom. Berikutnya bulan Shafar,  Rabi’ul Awwal, dan seterusnya sampai bulan Dzulhijjah. Kalau itu bisa selesai sampai bulan Dzulhijjah,  kita akan kembali kepada keseharian kita. Yaitu keseharian kita dalam aqidah, keseharian kita dalam urusan ibadah, serta keseharian kita dalam urusan mu’amalah, yang kesemuanya itu tidak ada dasarnya dari Rosuulullooh صلى الله عليه وسلم.
Maka pembahasan tidak dititik-beratkan pada hal-hal yang Sunnah-nya, karena memang tema pembahasan kali ini adalah masalah Bid’ah saja.
MASALAH PERINGATAN ‘ASYUROO
Seperti kita ketahui bahwa ‘Asyuuroo berasal dari kata ‘Asyarah, artinya: Sepuluh.
Yang dimaksud dalam hal ini adalah hari ke-sepuluh bulan Muharrom, bulan pertama kaum muslimin. Tanggal 10 Muharrom itu disebut: ‘Asyuroo. Tanggal 9 Muharrom disebut dengan: Tasuu’aa, (kesembilan).
عن ابن عباس قال
: – قدم النبي صلى الله عليه و سلم المدينة . فوجد اليهود صياما . فقال ( ما هذا ؟ ) قالوا هذا يوم أنجى الله فيه موسى وأغرق فيه فرعون فصامه موسى شكرا . فقال رسول الله صلى الله عليه و سلم ( نحن أحق بموسى منكم ) فصامه وأمر بصيامه
Artinya:
Berkenaan dengan itu, ketika Rosuulullooh صلى الله عليه وسلم hijrah ke Madinah, lalu melihat orang-orang Yahudi Madinah mengagungkan tanggal 10 Muharrom, beliau صلى الله عليه وسلم bertanya, “Hari apa ini bagi kalian? Mereka menjawab:  “Ini adalah hari dimana Allooh سبحانه وتعالى menyelamatkan Musaعليه السلا dan kaumnya.” Maka Rosuulullooh صلى الله عليه وسلم bersabda: “Kami lebih berhak untuk mengikuti Musa daripada kalian”. Lalu beliau shoum (berpuasa) dan menyuruh kepada sahabat-sahabat yang lain untuk shoum. (Hadits Riwayat Imaam Ibnu Maajah dari ‘Abdullooh bin Abbaas رضي الله عنه)
Pada Hadits yang lain, Rosuulullooh صلى الله عليه وسلم bersabda kepada para sahabat dan kepada kita sekalian, dalam bentuk angan-angan:
لَئِنْ بَقِيتُ إِلَى قَابِلٍ لأَصُومَنَّ التَّاسِعَ
Artinya:
Kalau sendainya aku panjang umur, aku akan shoum pada hari ke-sembilan (hari Tasuu’a)”. (Hadits Riwayat Imaam Muslim dari ‘Abdullooh bin Abbaas رضي الله عنه)
Karena itu maka Sunnah bagi kita untuk melakukan shoum (puasa) pada tanggal 9 dan 10 Muharrom.   Hanya itu yang diperintahkan oleh Rosuulullooh صلى الله عليه وسلم.  Kalau ada ibadah yang identik dengan itu, yang disebut dengan shoum, maka sabda Rosuulullooh صلى الله عليه وسلم dalam hadits yang lain bahwa dalam bulan Muharrom itu disunnahkan untuk memperbanyak shoum. Sabda beliau صلى الله عليه وسلم:
أَفْضَلُ الصِّيَامِ بَعْدَ رَمَضَانَ شَهْرُ اللَّهِ الْمُحَرَّمُ
Artinya:
Shoum yang paling utama setelah bulan Romadhoon adalah shoum pada bulan Allooh yaitu Muharrom (Hadits Riwayat Imaam Muslim dari Abu Hurairoh رضي الله عنه)
Lalu para ulama ber-istimbath bahwa pada bulan Muharrom kita disunnahkan untuk memperbanyak shoum.Walau pun Rosuulullooh صلى الله عليه وسلم tidak pernah mencontohkan shoum sebulan penuh kecuali pada bulan Romadhoon. Artinya, pada bulan Muharrom kitdianjurkan untukmemperbanyak shoum. Hanya itu lah yang ada pada penjelasan Sunnah, berkenaan bagaimana kita menyikapi Muharrom. Selain yang tersebut diatas bukanlah ajaran Rosuulullooh صلى الله عليه وسلم.
Ada dua hal yang terkenal yang dilakukan oleh kaum Muslimin pada akhir-akhir ini. Yaitu :
  • Menyambut tahun baru Islam.
  • ‘Asyuroo itu sendiri.
Untuk itu kami tidak akan berpanjang-kata, kami akan sampaikan apa yang ditulis oleh Imaam kaum muslimin dalam urusan Ilmu Syar’i, bahkan beliau menjadi panutan bagi kita kaum muslimin. Khususnya orang Indonesia yang mengaku ber-madzhab Syafi’i. Yaitu dalam kitab yang pernah diperkenalkan bernama Kitab Al Amru bill Ittibaa’ wan Nahyu ‘Anil Iibtidaa’. Kitab tersebut ditulis oleh Imaam Jalaaluddin As Suyuuthi رحمه الله, yang menulis kitab tafsir Al Qur’an, yaitu Tafsir Al Jalaalain. Yang Kitab Jalaalain itu diperlajari oleh orang-orang Indonesia karena ilmunya mu’tabar.
Di halaman 187 Kitab beliau, beliau mengatakan satu pasal bernama Bid’ah Yaumiyyah ‘Asyuroo (Bid’ahnya hari ke-sepuluh Muharrom). Kata beliau Imam As Suyuuthi رحمه الله sebagai berikut:
“Dan diantara kejadian-kejadian yang mungkar (tidak baik) ialah apa yang dilakukan oleh sebagian  orang yang mengikuti hawa nafsu (bukan pengikut Sunnah), pada hari ke-sepuluh bulan Muharram. Mereka melakukan Ta’ahtthusy (berhaus-haus), tidak minum dan mungkin juga tidak makan, atau berbentuk puasa dan bersedih, mengeluh bahkan mengaduh. Serta perkara-perkara lain yang tergolong mungkar dan Bid’ah. Yaitu perkara-perkara yang belum pernah disyari’atkan oleh Allooh سبحانه وتعالى, dan juga tidak oleh Rosuul-Nya, dan juga tidak oleh seorang pun dari pendahulu umat ini, baik dari kalangan Ahlul Bait itu sendiri ataupun dari selain mereka”.
Jadi menurut penelitian beliau, menurut apa yang beliau telaah dalam ilmu syar’i dan sejarah dan seterusnya, bahwa peringatan ‘Asyuroo adalah Bid’ahkarena tidak ada contohnya, tidak ada ajarannya dan tidak ada yang melakukannya oleh Pendahulu umat ini. Bahkan dari orang yang mengaku dirinya Ahlul Bait, keluarga Rosuulullooh صلى الله عليه وسلم tidak mencontohkannya serta tidak merintisnya.
Ini merupakan musibah”, kata beliau. “Dan terjadi pada zaman pertama, pendahulu. Yaitu dengan terbunuhnya seorang cucu Nabi صلى الله عليه وسلم,  Husain bin Ali رضي الله عنه.”
Kata beliau (Imam As Suyuuthi رحمه الله): “Ini adalah merupakan musibah yang terjadi pada abad pertama. Yaitu masih dibawah tahun 50-an Hijriyah. Yaitu dengan terbunuhnya Husain bin Ali رضي الله عنه. Mestinya kita sambut, kita lakukan atas musibah itu, dalam bentuk introspeksi yang disyari’atkan oleh Allooh سبحانه وتعالى dan oleh Allooh سبحانه وتعالى. Dan dengan sabar yang sebaik-baiknya, bukan dengan gelisah, kesedihan dan mengaduh, serta bukan dengan menyiksa diri. Yang kemudian dirintis oleh Ahlul Bid’ah pada masa sekarang.
Maksudnya, pada masa Imam As Suyuuthi رحمه الله, dimana Imam As Suyuuthi رحمه الله termasuk orang pendahulu dalam madzhab ini, yaitu pada masa abad ke-8 Tahun Masehi. Beliau mengatakan bahwa Bid’ah itu dirintis dimasa terakhir masa itu, dan tidak ada di zaman dahulunya. Kata beliau: “Kemudian digabungkan peringatan 10 ‘Asyuroo itu dengan bentuk-bentuk dusta kemudian mereka (Ahlul Bid’ah) itu mencela kepada para sahabat Rosuulullooh صلى الله عليه وسلم yang sahabat itu bersih dari urusan bid’ah itu. Yang kesemuanya itu dibenci oleh Allooh سبحانه وتعالى dan Rosuulullooh صلى الله عليه وسلم.”
Kata beliau Imam As Suyuuthi رحمه الله: Dalam bentuk hadits riwayat Imaam Ibnu Maajah dari Al Hasan bin Ali رضي الله عنه, Rosuulullooh صلى الله عليه وسلم bersabda:
“Barang siapa yang ditimpa oleh suatu musibah, lalu ia ingat musibah itu kemudian ia melakukan introspeksi ke belakang (Istirja’), betapa pun sudah jauh masanya, maka Allooh akan mencatat orang itu pahala sebesar pahala disaat ia ditimpa musibah itu”.
Jadi yang diperingati adalah bagaimana kita ber-introspeksi dan mengingat tentang musibah itu dan mengingat sikap yang harus kita lakukan, bukan melakukan seperti yang kita lihat dimasa sekarang ini.
Selanjutnya Imam As Suyuuthi رحمه الله mengatakan: “Adapun menjadikan hari ditimpa musibah itu dengan melakukan suatu peringatan yang berbentuk kesedihan, maka yang demikian itu bukan dari ajaran Islam, bahkan itu lebih dekat dengan tabiat dan kebiasaan Jahiliyah. Kemudian mereka menunda untuk berpuasa (shoum) pada hari itu, mereka tidak tahu bahwa ada keutamaan pada hari itu. Lalu sebagian orang mengganti yang Sunnah itu dengan mengadakan peringatan-peringatan yang Bid’ah. Misalnya mereka melakukan pada hari itu: mandi, mencelupkan rambut, memakai celak mata, berjabat tangan (bersalam-salaman), semuanya itu adalah perkara-perkara yang mungkar, yang bid’ah, sandarannya tidak lain hadits yang dusta atas Rosuulullooh صلى الله عليه وسلم. Padahal yang disunnahkan oleh Rosuulullooh صلى الله عليه وسلم hanyalah Shoum pada hari itu (‘Asyuroo), tidak ada yang lain.
Ada memang satu riwayat, tetapi riwayatnya lemah, misalnya dengan membawakan sesuatu kepada keluarga. Haditsnya itu lemah. Bisa saja disebabkan karena kultus, atau berlebih-lebihan dalam mengagungkannya, dari kalangan orang-orang Syi’ah,  juga untuk menanggapi dan menandingi orang-orang Raafidhoh.
Sesungguhnya syaithoon ingin memalingkan manusia dari jalan yang lurus.Dan syaithoon tidak peduli kearah mana ia akan berjalan. Oleh karena itu bagi orang yang melakukan kebid’ahan itu, seharusnya menjauhkan kebid’ahan tersebut sama sekali.
Itu lah yang dikatakan oleh Imam As Suyuuthi رحمه الله dan Imam Syafi’iy رحمه الله. Bahwa kesemuanya yang tersebut diatas itu tidak ada dari Allooh سبحانه وتعالى, tidak ada dari Rosuulullooh صلى الله عليه وسلم, dan semuanya itu haditsnya Dho’iif. Oleh karenanya, tidak ada dalil yang bisa dipakai sebagai sandaran bahwa peringatan ‘Asyuroo itu sunnah yang perlu dihidupkan. Itu yang harus dijauhi dan tidak boleh kita ikut-ikutan.
Berikut kami sampaikan pendapat yang lain, yang orang yang tidak tahu mengira bahwa yang berikut ini Wahabi. Padahal pendapat ini jauh sebelum hidupnya Muhammad bin ‘Abdul Wahab رحمه الله.  Beliau adalah Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah رحمه الله, beliau ditanya suatu hari tentang apa yang dilakukan oleh orang pada tanggal 10 Muharrom, misalnya dalam bentuk alis, celak mata, mandi atau mencelup rambut kepala, atau berjabat-tangan, memasak biji-bijian, atau memperlihatkan rasa suka, rasa bahagia, dan lain-lainnya, apakah yang demikian itu terdapat hadits yang shohiih dari Nabi Muhammad صلى الله عليه وسلم atau tidak ?
Jika tidak ada hadits yang shohiih, apabila yang demikian itu dilakukan, lalu hukumnya Bid’ah atau tidak? Dan apa yag dilakukan oleh sebagian kecil dari kaum muslimin, berupa peringatan, makan-makan, ataupun berupa kesedihan, memperhaus diri dan lain-lainnya, termasuk meratap, ataupun membaca sesuatu yang membuat mereka bersedih,  termasuk merobek baju-baju mereka, apakah yang demikian itu ada dasarnya atau tidak.
Beliau Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah رحمه الله menjawab: “Alhamdulillaahirobbil’aalamiin, belum pernah ada hadits yang shohiih dari Nabi Muhammad صلى الله عليه وسلم, juga tidak pernah ada dari para sahabatnya dan tidak pernah dianjurkan oleh para Imaam kaum muslimin, termasuk didalamnya Imam yang Empat, dan selain mereka. Tidak ada riwayat dari orang yang termasuk Ahlul Kutub, yaitu orang yang ahli dalam bidang telaah Kitab, yang betul-betul bisa dipercaya, tidak lah ada ajaran tentang masalah yang ditanyakan diatas”.
Kesimpulannya, tidak ada ajaran dari Nabi Muhammad صلى الله عليه وسلم, tidak ada dari para sahabat, tidak ada dari para tabi’in, tidak ada riwayat yangshohiih, bahkan tidak ada riwayat yang dho’iif sekalipun. Tidak ada dari Kitab-kitab Hadits yang shohiih, tidak ada dalam kitab-kitab Sunnan, tidak ada dalam musnad-musnad dan tidak dikenal hadits-hadits tentang masalah itu pada abad-abad yang utama. Dan sudah berdasarkan penelitian bahwa memang tidak ada dalil tentang masalah tersebut.
Tetapi memang ada riwayat sebagian muta-akhiriin, tentang masalah tersebut. Hadits-hadits yang mereka riwayatkan bahwa bila mereka bercelak mata pada hari ke 10 Muharrom, maka mereka tidak akan pernah belekan(sakit mata) pada tahun itu.
Ada lagi yang meyakini, siapa yang mandi pada hari ke-10 Muharrom, maka ia tidak akan sakit selama setahun itu. Itu Hadits-hadits yang diriwayatkan oleh orang-orang mutaakhirin, tetapi tidak ada diriwayatkan oleh orang-orang terdahulu.
Artinya hadits itu palsu. Karena palsu, maka tidak boleh dijadikan sandaranBahkan meriwayatkannya saja dosa, kalau tidak untuk menjelaskan kepalsuan-nya.
Mereka para mutaakhirin itu misalnya meriwayatkan tentang keutamaan sholat pada hari ke-10 Muharrom, mereka meriwayatkan bahwa hari itu adalah taubatnya Nabi Adam عليه السلام. Dikaitkan dengan cerita cerita tentang perahu Nabi Nuh عليه السلام, tentang Nabi Yusuf عليه السلام dan Nabi Ya’qub عليه السلام, dan dikaitkan dengan cerita diselamatkannya Nabi Ibrohim عليه السلام dari neraka, dengan kisah kurban Nabi Ibrohim عليه السلام yang ditukar dengan domba yang besar, dsbnya.
Mereka juga meriwayatkan hadits-hadits palsu, pendustaan atas Nabi Muhammad صلى الله عليه وسلم, katanya, barangsiapa yang memberikan kelonggaran dan kelapangan kepada keluarganya pada hari ke-10 Muharrom, maka Allooh سبحانه وتعالى akan memberikan kelapangan hidup sepanjang tahun. Hadits tersebut seolah-olah bagus, tetapi ternyata palsu. Tidak boleh kita yakini.
Semuanya itu adalah bagian dari pendustaan dan pemalsuan atas Nabi Besar Muhammad صلى الله عليه وسلم. Yang demikian itu dikenal dari riwayat  Sofyan bin ‘Uyainah dari Ibrohim bin Muhammad bin Muntasyir dari bapaknya, katanya “Balaghona”. Kata “Balaghona”  dalam riwayat hadits tidak termasuk mu’tabar dan shohiih.
Ibrohim bin Muhammad bin Muntasyir itu dari ahlul Kuffah. Dan Ahlul Kuffah ada dua kelompok”, kata beliau Ibnu Taimiyah رحمه الله, “pertama adalah orang-orang Syi’ah yang memeperlihatkan loyalitas mereka terhadap Ahlul Bait, dan sesungguhnya dalam bathin mereka termasuk didalamnya orang-orang yang munafiqun. Dan diantara mereka ada orang-orang yang Jahiliyah dan pengikut hawa nafsu.”
Ada kelompok lain yaitu Naasibah, yang merupakan kebalikan dari kelompok Raafidhoh.  Karena mereka membenci Ali bin Abi Tholib رضي الله عنه dan para sahabatnya. Karena terjadinya peperangan pada masa fitnah”.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah رحمه الله mengatakan bahwa kesemuanya itu tidak ada dasarnya, maka bagi kita tidak ada sunnahnya untuk memperingati ‘Asyuroo, hari ke-10 Muharrom, atau peringatan dalam rangka bulan Muharrom.
Adapun mengenai peringatan awal tahun (Tahun Baru Islambisa dipastikan tidak ada sunnahnya dari Rosuulullooh صلى الله عليه وسلم. Sejak zaman dahulu tidak ada peringatan-peringatan seperti itu. Peringatan awal tahun dan akhir tahun adalah muncul di waktu-waktu belakangan sampai sekarang ini.
Di dalam Kitab As Sunan Wal Mubtada’aat juga terdapat masalah tersebut diatas. Beliau Syaikh Muhammad bin Ahmad bin Muhammad bin ‘Abdussalaam, mengatakan bahwa hadits yang mengatakan tentang sholat ‘Asyuroo, adalah palsu. Para perowinya tidak dikenal.
Dalam Kitabnya Al la‘Aali Al Masnuu’ah (Al la‘Aali adalah Luk-luk, mutiara buatan) berkenaan dengan hadits-hadits palsu. Tidak ada relevansinya tentang mutiara buatan dengan hadits palsu, Imam As Suyuuthi رحمه الله mengatakan dalam Kitabnya: Haroom hukumnya meriwayatkan hadits palsu itu kecuali untuk menjelaskan kepalsuannya. Dan juga haroom mengamalkannya.
Berikutnya kata Imam As Suyuuthi رحمه الله : “Adapun tentang pembacaan do’a ‘Asyuroo, yang buku doanya sering dijual (– di kaki-lima, di kampung-kampung ) yang didalamnya termuat tentang Mauludan, ada koleksi Mauludan, doanya adalah Bid’ah dan mungkar.” Doa-doanya bagus, tetapi ketika doa-doa itu dikaitkan dengan ibadah dan dilakukan pada hari-hari tertentu, maka itu adalah Bid’ah dan munkar. Dan yang semisal dengan itu, doa di awal tahun dan di akhir tahun adalah Bid’ah. Karena berkenaan dengan ‘Asyuroo dan awal tahun, akhir tahun.
Kata mereka dalam doa awal tahun: “Berikanlah kepada kami perlindungan dari syaithoon dan para walinya,  tolonglah kami untuk bisa mengalahkan jiwa yang jelek, tolonglah kami agar kami bisa menyibukkan diri untuk mendekatkan kepada Engkau”, dstnya.
Maknanya adalah doa,  tetapi ketika doa itu dikaitkan dengan ibadah tertentu, maka itu menjadi Bid’ah.
Kata beliau Imam As Suyuuthi رحمه الله : “Bid’ah yang munkar dan sesat”, dan perkataan mereka dalam doa ‘Asyuroo. Kata mereka: “Siapa yang membaca doa ‘Asyuroo maka ia tidak akan mati pada tahun itu”. Yang demikian itu adalah dusta dalam urusan dien dan “sok berani” kepada Allooh سبحانه وتعالى.
Padahal Allooh سبحانه وتعالى berfirman:
فَإِذَا جَاءَ أَجَلُهُمْ لَا يَسْتَأْخِرُونَ سَاعَةً وَلَا يَسْتَقْدِمُونَ
Artinya:
Maka apabila telah datang waktunya mereka tidak dapat mengundurkannya barang sesaatpun dan tidak dapat (pula) memajukannya.”. (QS Al A’roof ayat 34)
Dan juga pembacaan kalimat,
حسبي الله ونعم الوكيل
“Hasbiyalloohu wani’mal wakiil
pada air mawar, lalu untuk menyembuhkan berbagai penyakit, itu adalah keyakinan yang rusak, serta sesat yang nyata.
Demikian pula asap yang harum pada bulan ‘Asyuroo, atau minyak wangi yang ditebarkan dengan suatu keyakinan bahwa itu berperan sebagai Ruqyah, yang bisa menolak hasad, sihir, kesemuanya itu adalah keyakinan yang syirik, yang hina, dan itu adalah kejahatan yang akan menguasai akal anak-anak.
MASALAH PERINGATAN MAULID (MAULUDAN)
Al Maulid An Nabawy artinya: kelahiran NabiTentang kelahiran Nabi Muhammad صلى الله عليه وسلم tidak ada kesepakatan para ulama bahwa beliau lahir tanggal 12 Rabi’ul Awwal.
Ada yang mengatakan bahwa yang benar (kalau itu mau dan lebih kuat), Nabi Muhammad صلى الله عليه وسلم lahir tanggal 9 Rabi’ul Awwal.
Intinya, dilihat dari sejarahnya saja sudah mulai menyeleweng dan tidak tepat. Kalau pun dikatakan lahir beliau tanggal 12 Rabi’ul Awwal, itu pun merupakan kekeliruan dari sisi sejarah.
Lalu kalau ada yang mengatakan sepanjang tahun lah kita mengadakan Mauludan, maka sebenarnya yang mengatakan itu tidak paham arti Maulud. Karena Maulud adalah hari lahir, maka pada tepat hari lahir lah diperingati. Kalau tidak tepat pas hari lahir, namanya bukan Mauludan. Kenyataannya, tidak tepat hari lahir tetapi dikatakan Mauludan, maka itu kekeliruan yang berlipat-ganda.
Tentang Maulid An Nabawy, berikut kami sampaikan:
Pertama, secara sejarah, ternyata Maulud atau peringatan / pesta Mauludan itu tidak pernah ada. Di dalam Kitab yang ditulis oleh Imaam Abu Syaamah Asy Syaafi’iy رحمه الله , yang beliau tulis dengan judul “Al Baa’itsu ‘Alaa Inkaaril Bida’i Wal Hawaadits”, halaman 97. Beliau hidup pada awal abad 7 Hijriyah, meninggal tahun 665 Hijriyah, mengatakan dalam kitabnya: “Bahwa orang yang pertama kali melakukan peringatan Mauludan di negeri Mousil (Syiria), adalah orang yang bernama ‘Umar bin Muhammad Al Mala’. Ia adalah seorang yang shoolih yang terkenal, yang kemudian ditiru oleh penguasa (‘Amir) yang ada di negeri itu (namanya daerah Irbil) yang bernama Al Mudhoffar Abi Sa’id Kubray.”
Jadi yang pertama kali mengadakan peringatan Mauludan adalah seorang raja dari Irbil (Syria) yang bernama Al Mudhoffar.
Di dalam Kitab “Ahsan Al Kalaam” yang ditulis oleh Muhammad Bakhir Al Matmuti’i, halaman  52 mengatakan: “Dari itu diketahui bahwa Al Mudhoffar adalah orang yang pertama kali mengadakan Mauludan di kota Irbil. Oleh karena itu tidak ada pertentangan dari apa yang kami sebutkan bahwa pertama kali yang melakukan peringatan Mauludan adalah di Kairo Mesir, adalah Al Khulafaaul Faathiimiyiin. Yaitu para khaalifah dari kalangan Fathiimiyin (orang kebathinan). Tetapi daerah Fathiimiyin itu habis musnah dengan meninggalnya Al ‘Abid Billaah Abi Muhammad ‘Abdillaah Al Hafidz bin Al Mustanshir pada hari Senin, 10 Muharrom 567 Hijriyah. Jadi jauh dari abad Rosuulullooh صلى الله عليه وسلم, para sahabat dan tabi’in.”
Kata beliau رحمه الله , “Tidak pernah peringatan Mauludan itu dikenal di negara-negara Islam,  sebelum Fathiimiyin. Jadi kira-kira abad ke-6 atau awal abad ke-7 Hijriyah.”
Demikian itu juga dijelaskan dalam Kitab “Wafayaatul A’yaan“, jilid I. Juga Kitab “Ar Raddul Qawiy ‘Alar Rifaa’i Wal Majhul Ibni ‘Alawi Wa Bayan Ahkami Fil Maulidin Nabawiy”, juga Kitab “Al Inshoof Fiima qiila Fil Mauluudi Minal Ghuluwy”.
Itulah kitab-kitab yang menjelaskan yang pertama tersebut diatas.
Yang menunjukkan bahwa Mauludan itu yang melakukan pertama kali adalah orang-orang Fathiimiyun,  Al ‘Ubaidiyuun (orang-orang kebatinan), bukan Ahlussunnah wal Jama’ah, adalah seperti yang disebutkan oleh para  ‘Ulama dalam tidak kurang dari 10 Kitab. Yang memastikan bahwaMauludan itu pertama kali dilakukan dan dirintis oleh orang-orangFathiimiyun, pada awal abad ke-7 Hijriyah. Jauh dari masa Salaful Ummah.
Maka ada suatu pernyataan bahwa tidak mustahil peringatan Mauludan itu merebak sampai kepada Syaikh ‘Umar bin Muhammad Al Mala’tersebut diatas, dari kalangan ‘Ubaidiyin. Karena Daulah Fathiimiyah kemudian mengambil dan menjadikan  wilayahnya (Mousil) sebagai bagian dari wilayahnya pada tahun pada tahun 347 Hijriyyah sebagaimana dikatakan oleh Ibnu Katsiir رحمه الله dalam Kitab Al Bidaayah Wan Nihaayah.
Lahirnya Al Mudhoffar adalah tahun 549 Hijriyyah, dan ayahnya  menguasai Irbil, dan Al Mudhoffar menguasai Irbil setelah ayahnya meninggal, yaitu tahun 563 Hijriyyah, sebagaimana dikatakan oleh Imam Adz Dzahaabiرحمه الله dalam kitabnya Siar A’laamin Nubalaa’.
Maka bisa dipastikan bahwa Mauludan itu mulai muncul pada abad ke-6 dan awal abad ke-7. Itu lah yang perlu diketahui dari sisi sejarah.
Ada satu hal yang perlu diperhatikan, bahwa orang yang merintis Mauludanitu kualitas Islamnya seperti apa.  Katanya Mauludan itu untuk membangkitkan semangat jihad dsbnya. Sekarang kita lihat dalam Kitab Al Yaaquut, beliau adalah semasa dengan Al Mudhoffar dan dalam Mu’jam-nya mengatakan, bahwa kepribadian orang tersebut (Raja Al Mudhoffar) sangat kontradiktif. Orang ini banyak sekali berbuat dzolim. Sangat tamak terhadap rakyatnya, sangat suka merampas harta dengan cara yang tidak benar.
Kedua, dalam Kitabnya Ibnul Imad رحمه الله yang bernama Sadzarootudz Dzahab, beliau رحمه الله mengatakan bahwa sekian banyak uang dan harta telah diinfakkan untuk Mauludan, yang dilakukan Al Mudhoffar yakni 300.000 Dinar.
Kalau dinilai sama dengan uang Real, setiap Real sama dengan Rp 3000, – maka biaya Mauludan ketika masa itu sudah mencapai 900 juta rupiah. Pada masa itu orangnya juga masih sedikit, belum sebanyak sekarang.Tetapi mungkin ia mengambil harta dari rakyatnya dengan cara yang tidak sesuai Syar’i.
Ada yang mengatakan bahwa Mauludan mulai muncul dan sering diperingati pada zaman Shalahuddin Al Ayyubi رحمه الله . Pada abad ke-7 Hijriyah ketika akan membebaskan Al Quds, dilihatnya kaum muslimin tidak punya semangat untuk membela Islam. Oleh karena itu (katanya) lalu ia bangkitkan, dikumpulkannya orang dengan melakukan peringatan Mauludan. Diharapkan akan membangkitkan cinta kaum muslimin dan gairah ke-Islaman mereka, sehingga tampil bangkit untuk membela Islam dengan berjihad. Walloohu a’lam.
Itulah pembuktian dari sejarah, kapan mulai muncul MauludanIntinya,Mauludan muncul setelah akhir-akhir masa, bukan pada zaman Rosuulullooh صلى الله عليه وسلم atau zaman Khulafaaur roosyidiinbukan masa para Tabi’in, juga bukan pada zaman Imam yang Empat. Melainkan pada zaman yang terakhir sekali, barulah muncul Mauludan dengan alasan untuk cinta kepada Rosuulullooh صلى الله عليه وسلم.  Padahal itu tidak ada dasarnya.
FATWA DAN SIKAP PARA ULAMA
Pertama, dari ulama yang masih hidup  atau mungkin sekarang sudah wafat. Dalam Fatwa Al-Lajnah Ad-Da’imah lil Buhuts Al-’Ilmiyah wal Ifta’(Komite Tetap untuk Riset ‘Ilmiah dan Fatwa) Kerajaan Saudi ‘Arabia, Nomor: 4755, fatwanya sebagai berikut:
Peringatan Mauludan adalah Bid’ah. Karena Rosuulullooh صلى الله عليه وسلم sendiri tidak pernah melakukan peringatan hari lahir beliau sendiri. Dan tidak pernah Rosuulullooh صلى الله عليه وسلم memerintahkannya kepada para sahabat. Para sahabat pun tidak pernah yang ada melakukannya. Padahal para sahabat itu generasi yang paling gigih dalam mengagungkan Rosuulullooh صلى الله عليه وسلم dan mengikuti Sunnahnya. Sebab Rosuulullooh صلى الله عليه وسلم bersabda:
مَنْ أَحْدَثَ فِى أَمْرِنَا هَذَا مَا لَيْسَ مِنْهُ فَهُوَ رَدٌّ
Artinya:
Barangsiapa yang mengada-ada sesuatu yang baru dalam perkara kami dan itu tidak pernah ada dalam ajaran kami maka perkara itu tertolak(Muttafaqun ‘alaihi dari ‘Aa’isyah رضي الله عنها).
Dari Syaikh Muhammad Shoolih Al ‘Utsaimin رحمه الله , dalam Kitabnya Al Majmuu’, beliau  رحمه الله berkata ketika ditanya hukum memperingati Maulud Nabi صلى الله عليه وسلم: “Maulud itu tidak dikenal secara pasti, bahkan sebagian orang yang hidup pada zaman sekarang mengatakan bahwa Rosuululloohصلى الله عليه وسلم lahir pada 9 Rabi’ul Awwal (bukan 12 Rabi’ul Awwal). Maka sesungguhnya peringatan itu secara sejarah tidak ada landasannya.
Keduadari sisi Syar’i, peringatan Mauludan itu tidak ada asalnya. Kalau lah itu merupakan syariat Allooh سبحانه وتعالى, maka tentu lah Rosuulullooh صلى الله عليه وسلم akan melakukannya, atau akan menyampaikannya kepada umatnya. Kalau memang menyampaikannya, maka wajib dan pasti yang demikian itu ada dan terriwayatkan kepada kita. Ketika itu tidak ada, tentu itu bukan bagian dari Islam. Dan jika bukan bagian darti Islam, maka tidak boleh untuk menghambakan diri serta mendekatkan diri  kepada Allooh سبحانه وتعالى dengan cara seperti itu.
Kalau memang peringatan Maulud itu merupakan kesempurnaan dari Islam, maka seharusnya ada sebelum wafatnya Rosuulullooh صلى الله عليه وسلم. Kalau tidak ada, maka tidak mungkin itu merupakan bagian dari Islam. Karena Allooh سبحانه وتعالى telah berfirman dalam surat Al Maa’idah ayat 3:
الْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ وَأَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِي وَرَضِيتُ لَكُمُ الْإِسْلَامَ دِينًا
Artinya:
Pada hari ini telah Ku-sempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu ni’mat-Ku, dan telah Ku-ridhoi Islam menjadi agama bagimu.”
Dengan demikian, Mauludan adalah Bid’ah serta hukumnya haroom. Jadi tidak boleh dilakukan karena Bid’ah, dan haroom hukumnya.
Dalam Kitab Majmuu’ FatawaSyaikhul Islam Ibnu Taimiyah رحمه الله mengatakan: “Demikian pula tentang apa yang diada-ada oleh sebagian orang, yang menyerupai Nasrani dalam peringatan lahirnya Nabi ‘Isa عليه السلام, mungkin karena cinta terhadap Nabi Muhammad صلى الله عليه وسلم, dan mengagungkan beliau dan berharap bisa mendapatkan pahala karena cintanya itu, tetapi sayangnya banyak orang yang menyelisihi kapan lahirnya Nabi صلى الله عليه وسلم sendiri. Yang demikian itu tidak pernah dilakukan oleh Salaf, betapa pun para Shohabat memungkinkan untuk melakukan itu, dan tidak ada halangan bagi mereka kalau memang itu dianggap baik.
Kalau memang Mauludan itu dianggap baik, maka Salaf akan lebih dahulu melaksanakan dibandingkan kita. Karena para Salaf itu orang yang paling sangat cintanya serta paling menghormati serta mengagungkan kepada Rosuulullooh صلى الله عليه وسلم dibandingkan kita. Mereka adalah orang yang paling gigih untuk menjalankan kebaikan. Dan diantara kesempurnaan cinta dan penghormatan serta mengikuti beliau dengan taat mengikuti sunnahnya adalah dengan tidak melakukan Mauludan itu.”
Karena justru seharusnya adalah dengan menghidupkan Sunnahnya secara dhohir, secara bathin, dan menyebarkan apa yang menjadi ajaran Rosuulullooh صلى الله عليه وسلم. Dan berjihad dengan hati, dengan tangan dan lisan, untuk selalu sama dengan jalannya orang-orang pendahulu dari kalangan Muhajirin dan Anshor dan orang yang setia mengikuti mereka.
Kebanyakan dari mereka yang melakukan Mauludan”, kata Ibnu Taimiyahرحمه الله, “justru mereka banyak yang tidak melaksanakan apa yang seharusnya mereka lakukan.  Misalnya, ada orang yang menghias-hias AlQur’an, tetapi Al Qur’an itu tidak dibacanya, serta tidak diamalkannya.Seperti orang yang menghias dan memperindah masjid, tetapi ia tidak pernah sholat didalamnya. Kalaupun sholat, sholatnya jarang dilakukan.”
Maka perlu kami sampaikan bahwa Mauludan itu justru bukan mengundang dan memberikan maslahat (kenaikan),  melainkan memberikan madhorot (keburukan).
Madhorotnya minimal ada 5 poin:
Pertama, madhorot dari sisi ‘Aqidah, yang tidak kurang dari 5 perkara:
1. Peringatan Mauludan itu menyerupai Nasrani dan Yahudi (Tasyabbuh). Sedangkan menyerupai Nasrani dan Yahudi  itu harom dan dilarang oleh Rosuulullooh صلى الله عليه وسلم.
2. Peringatan Mauludan adalah bentuk dari Ghuluwwun (kultusterhadap Rosuulullooh صلى الله عليه وسلم. Kultus yang berlebihan terhadap beliau.  Mengangkat derajat Rosuulullooh صلى الله عليه وسلم lebih dari apa yang semestinya kita perbuat. Dan itu dilarang oleh Rosuulullooh صلى الله عليه وسلم dengan sabda beliau:
لَا تُطْرُونِي كَمَا أَطْرَتْ النَّصَارَى ابْنَ مَرْيَمَ
Artinya:
Jangan kalian berlebihan terhadap aku,  seperti orang Nasrani berlebihan terhadap ‘Isa Ibnu Maryam”. (Hadits Riwayat Imam Al Bukhoory dari ‘Umar bin Khoththoob رضي الله عنه)
Dan bisa dibuktikan berlebihan itu ada dalam kitab-kitab yang sering dijual dan beredar di masyarakat. Misalnya sanjungan-sanjungan sebagai berikut:  “Assalamu’alaika  Zainal Anbiyaa”,  dstnya, sampai ada kata-kata:
Assalamu’alaika ya Miskii wa yaa thiibii (Selamat atas engkau ya Misikku (minyak wangiku), selamat atas engkau wahai Thiibku (harum-harumanku)”.Perhatikan setelah itu ada kalimat:
Assalamu’alaika ya Maahidz dzunubi (Selamat wahai penghapus dosa-dosa).
Ini sudah keterlaluan, Rosuulullooh صلى الله عليه وسلم tidak bisa menghapus dosa-dosa orang. Sedangkan kepada putri beliau sendiri, beliau صلى الله عليه وسلم berpesan:
يَا فَاطِمَةُ بِنْتَ رَسُولِ اللَّهِ سَلِينِى بِمَا شِئْتِ لاَ أُغْنِى عَنْكِ مِنَ اللَّهِ شَيْئًا
Artinya:
Wahai Fatimah, mintalah kepadaku selagi aku masih hidup, sebab kalau aku sudah mati, maka aku tidak bisa memberi manfaat sedikitpun kepadamu”. (Hadits Riwayat Imaam Al Bukhoory dan Imaam Muslim dari Abu Hurairoh رضي الله عنه)
Itu urusan akhirat, sedangkan urusan dunia, beliau صلى الله عليه وسلم bersabda:
وأيم الله لو سرقت فاطمة بنت محمد لقطعت يدها
Artinya:
Demi Allooh, kalau Fatimah anakku mencuri niscaya akan aku potong tangannya”. (Hadits Riwayat Imaam An Nasaa’i dari ‘Usamah bin Zaid رضي الله عنه)
Jadi urusan akhirat dan dunia sedemikian tegasnya beliau صلى الله عليه وسلم walaupun kepada putrinya sendiri.
Maka kata sanjungan bahwa Rosuulullooh صلى الله عليه وسلم itu penghapus dosa adalah salah. Beliau tidak bisa menghapus dosa. Dan tidak dibenarkan bahwa Rosuulullooh صلى الله عليه وسلم penghapus dosa.
Itulah bentuk dari Ghuluw (Kultus Individu) kepada Rosuulullooh صلى الله عليه وسلم, seolah beliau disejajarkan dengan Allooh سبحانه وتعالى. Karena yang bisa menghapus dosa hanya ah Allooh سبحانه وتعالى, maka apabila ada keyakinan bahwa pada diri Rosuulullooh صلى الله عليه وسلم terdapat kemampuan yang sama dengan Allooh سبحانه وتعالى, maka keyakinan tersebut adalah syirik. Itu tidak bisa dimaklumi.
Ada lagi sanjungan:
“Assalamu’alaika ya Jaalil kuruub (Selamat wahai penghapus bencana)”.
Apakah Rosuulullooh صلى الله عليه وسلم bisa menanggulangi bencana?
Ada lagi:
Assalamu’alaika ya Kullal maroomi (Selamat wahai Rasul yang menjadi seluruh gawang dari kita, bahwa semua yang kita inginkan goalnya adalah Rosuulullooh صلى الله عليه وسلم).”
Itu salah, tidak boleh orang mengatakan demikian. Itu kultus individu. Dan masih banyak lagi sanjungan yang berlebihan, yang sesungguhnya tidak boleh diucapkan kepada Rosuulullooh صلى الله عليه وسلم, karena itu bukan ajaran dari beliau صلى الله عليه وسلم.
3. Peringatan Mauludan adalah ajaran baru, Bid’ah, Dholaalah dalam Ad dien. Kalau ada orang yang mengkaitkan dalam rangka cinta kepada Rosuulullooh صلى الله عليه وسلم, maka perbuatannya itu salah.
Memang benar kita harus cinta kepada Rosuulullooh صلى الله عليه وسلم, sebab kalau tidak cinta kepada beliau berarti bukan ummat Muhammad صلى الله عليه وسلم. Kita harus cinta kepada beliau صلى الله عليه وسلم, memuliakan dan mengagungkan beliau صلى الله عليه وسلم, tetapi harus lah dengan cara-cara yang sudah diajarkan oleh Rosuulullooh صلى الله عليه وسلم, bukan dengan cara mengarang sendiri.  Kalau mengarang sendiri namanya Bid’ah. Karena Bid’ah maka bisa menjadi dholaalah, sesat.
4. Peringatan Mauludan bisa menjadi media syirik. Seperti adanya sanjungan -sanjungan yang berlebihan, lalu meminta kepada Rosuulullooh صلى الله عليه وسلم seperti disebutkan diatas, adalah syirik. Karena meminta kepada selain Allooh سبحانه وتعالى, ia syirik. Apalagi Rosuulullooh صلى الله عليه وسلم sudah wafat.
5. Peringatan Mauludan adalah bentuk sikap Tajhiil (menganggap bodoh kepada Rosuulullooh صلى الله عليه وسلم, membodohkan para sahabat Rosuulullooh صلى الله عليه وسلم, membodohkan para Imaam yang mu’tabar). Menganggap mereka tidak tahu, bahwa sesuatu itu baik. Kalau memang baik, tentu sudah mereka lakukan. Karena mereka para Shohabat رضي الله عنهم itu paling gigih membuat kebaikan. Sementara mereka yang melakukan peringatan Mauludan itu komitmen-nya dan konsisten-nya terhadap Islam sejauh mana?
Pertama,Peringatan Mauludan adalah tabdziir dan isroof (mubadzir, membuang-buang dana yang sia-sia). Bila dihitung, misalnya jumlah masjid di seluruh Indonesia itu ada 1 (satu) juta masjid, dan setiap masjid mengadakan peringatan Mauludan dengan menghabiskan dana minimal Rp 2 juta per masjid, maka akan di habiskan dana: 1 juta X Rp 2 juta = Rp 2 trilyun. Sejumlah itu uang yang terbuang  sia-sia, untuk peringatan  Mauludan. Kalau uang sejumlah itu untuk menolong kaum muslimin yang kesusahan, akan lebih bermanfaat. Dan ingat, perbuatan tabdziir adalah saudara syaithoon.
Kedua, secara sosial Mauludan mempunyai dampak yang termasuk fatal,yaitu dengan Mauludan sering menimbulkan beberapa kemaksiatan. Di Cirebon, setiap tanggal 12 Rabi’ul Awwal persis seperti pasar malam tahunan. Dari musik sampai togel dan maksiat lainnya ada disitu. Itu katanya untuk mengagungkan Rosuulullooh صلى الله عليه وسلم. Apakah dengan cara seperti itu?
Katanya cinta kepada Rosuulullooh صلى الله عليه وسلم dengan bentuk yang demikian itu. Apakah yakin, seandainya Rosuulullooh صلى الله عليه وسلم masih hidup di hadapan kita, lalu melihat peringatan Mauludan di Cirebon itu, beliau akan bangga ?
Itu semua sebagai bahan untuk introspeksi diri masing-masing.
Ketiga, dalam peringatan Mauludan akan terjadi ikhtilaath, laki-laki dan perempuan baur menjadi satu, bahkan mungkin merupakan ajang pacaran dan sebagainya. Apakah memperingati dan mengagungkan Rosuulullooh صلى الله عليه وسلم seperti itu ?
Keempat, peringatan Mauludan tidak tepat sasaran atas apa yang mereka falsafahi. Bukankah Mauludan itu katanya dalam rangka membangkitkan semangat, agar kita semakin cinta kepada Rosuulullooh صلى الله عليه وسلم,  semakin mengikuti ajaran beliau.  Sejauh mana keberhasilan itu?
Nyatanya kaum muslimin dengan semakin banyak Mauludan, semakin merosot kondisinya seperti sekarang ini. Jadi kuncinya bukan pada Mauludan.
Kalau filosofinya untuk membangkitkan jihad sebagaimana Shalahuddin Al Ayyubi ketika itu, lalu sekarang ini mau jihad melawan siapa?
Kalau ada yang mengatakan bahwa Mauludan merupakan strategi dakwah, maka sesungguhnya Mauludan itu justru menghidupkan Bid’ah dan mematikan Sunnah.
Kata para ulama Salaf, “Siapa yang menghidupkan Bid’ah, berarti ia telah mematikan Sunnah.”
Lalu kalau ada seorang ustadz yang mengatakan bahwa kita gunakan forum Mauludan itu untuk berdakwah, maka sesungguhnya itu bukannya menghidupkan gairah Sunnah, akan tetapi pada hakikatnya justru meninggalkan Sunnah dalam prakteknya.
Ingat, Rosuulullooh صلى الله عليه وسلم tidak pernah menggunakan forum yang tidak sesuai (syari’at) tetapi lalu dikatakan untuk Islam. Sejak awal, Rosuulullooh صلى الله عليه وسلم selalu menggunakan furqoon dalam berbagai hal. Tidak pernah tercampur yang haq dengan yang baathil.
Oleh karena itu kalau ingin menebarkan Sunnah, menghidupkan Islam, menyeru orang kepada Islam, lakukan lah dengan konsep Islam yang semurni mungkin. Jadi tidak boleh katanya ingin menghidupkan Sunnahtetapi malah dengan cara meninggalkan Sunnah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

MENCEGAH KELALAIAN 10 MALAM TERAKHIR RAMADHAN

Mencegah kelalaian 10 malam terakhir ramadhan Assalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh Puji syukur senantiasa kita panjatkan, k...