Mengetahui hukum perbuatan bid'ah dan pengertian bid'ah
Saudaraku yang semoga kita selalu mendapatkan taufik Allah, seringkali kita
mendengar kata bid’ah, baik dalam ceramah maupun dalam untaian hadits
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Namun, tidak sedikit di
antara kita belum memahami dengan jelas apa yang dimaksud dengan bid’ah
sehingga seringkali salah memahami hal ini. Bahkan perkara yang sebenarnya
bukan bid’ah kadang dinyatakan bid’ah atau sebaliknya. Tulisan ini -insya
Allah- akan sedikit membahas permasalahan bid’ah dengan tujuan agar kaum muslimin
bisa lebih mengenalnya sehingga dapat mengetahui hakikat sebenarnya. Sekaligus
pula tulisan ini akan sedikit menjawab berbagai kerancuan tentang bid’ah yang
timbul beberapa saat yang lalu di website kita tercinta ini. Sengaja kami
membagi tulisan ini menjadi empat bagian. Kami harapkan pembaca dapat membaca
tulisan ini secara sempurna agar tidak muncul keraguan dan salah paham. Semoga
kita selalu mendapatkan ilmu yang bermanfaat.
AGAMA ISLAM TELAH SEMPURNA
Saudaraku, perlu kita ketahui bersama bahwa berdasarkan kesepakatan kaum
muslimin, agama Islam ini telah sempurna sehingga tidak perlu adanya penambahan
atau pengurangan dari ajaran Islam yang telah ada.
Marilah kita renungkan hal ini pada firman Allah Ta’ala,
الْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ وَأَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِي
وَرَضِيتُ لَكُمُ الْإِسْلَامَ دِينًا
“Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah
Ku-cukupkan kepadamu ni’mat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu jadi agama
bagimu.” (QS. Al Ma’idah [5] : 3)
Seorang ahli tafsir terkemuka –Ibnu Katsir rahimahullah–
berkata tentang ayat ini, “Inilah nikmat Allah ‘azza wa jalla yang
tebesar bagi umat ini di mana Allah telah menyempurnakan agama mereka,
sehingga mereka pun tidak lagi membutuhkan agama lain selain agama ini,
juga tidak membutuhkan nabi lain selain nabi mereka Muhammad shallallahu
‘alaihi wa sallam. Oleh karena itu, Allah menjadikan Nabi Muhammad shallallahu
‘alaihi wa sallam sebagai penutup para nabi, dan mengutusnya kepada
kalangan jin dan manusia. Maka perkara yang halal adalah yang beliau shallallahu
‘alaihi wa sallam halalkan dan perkara yang haram adalah yang
beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam haramkan.” (Tafsir Al
Qur’an Al ‘Azhim, pada tafsir surat Al Ma’idah ayat 3)
SYARAT DITERIMANYA AMAL
Saudaraku –yang semoga dirahmati Allah-, seseorang yang hendak beramal
hendaklah mengetahui bahwa amalannya bisa diterima oleh Allah jika memenuhi dua
syarat diterimanya amal. Kedua syarat ini telah disebutkan sekaligus dalam
sebuah ayat,
فَمَنْ كَانَ يَرْجُو لِقَاءَ رَبِّهِ فَلْيَعْمَلْ عَمَلًا صَالِحًا وَلَا
يُشْرِكْ بِعِبَادَةِ رَبِّهِ أَحَدًا
“Barangsiapa mengharap perjumpaan dengan Rabbnya, maka hendaklah ia
mengerjakan amal yang saleh dan janganlah ia mempersekutukan Rabbnya dengan
sesuatu pun.” (QS. Al Kahfi [18] : 110)
Ibnu Katsir mengatakan mengenai ayat ini, “Inilah dua rukun diterimanya
amal yaitu [1] ikhlas kepada Allah dan [2] mencocoki ajaran Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam.”
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مَنْ أَحْدَثَ فِى أَمْرِنَا هَذَا مَا لَيْسَ مِنْهُ فَهُوَ رَدٌّ
“Barangsiapa membuat suatu perkara baru dalam agama kami ini yang tidak ada
asalnya, maka perkara tersebut tertolak.” (HR. Bukhari no. 20 dan Muslim no.
1718)
Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda,
مَنْ عَمِلَ عَمَلاً لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُنَا فَهُوَ رَدٌّ
“Barangsiapa melakukan suatu amalan yang bukan ajaran kami, maka amalan
tersebut tertolak.” (HR. Muslim no. 1718)
Ibnu Rajab Al Hambali mengatakan, “Hadits ini adalah hadits yang sangat
agung mengenai pokok Islam. Hadits ini merupakan timbangan amalan zhohir
(lahir). Sebagaimana hadits innamal a’malu bin niyat [sesungguhnya
amal tergantung dari niatnya] merupakan timbangan amalan batin. Apabila suatu
amalan diniatkan bukan untuk mengharap wajah Allah, pelakunya tidak akan
mendapatkan ganjaran. Begitu pula setiap amalan yang bukan ajaran Allah dan
Rasul-Nya, maka amalan tersebut tertolak. Segala sesuatu yang diada-adakan
dalam agama yang tidak ada izin dari Allah dan Rasul-Nya, maka perkara tersebut
bukanlah agama sama sekali.” (Jami’ul Ulum wal Hikam, hal. 77, Darul
Hadits Al Qohiroh)
Beliau rahimahullah juga mengatakan, “Secara tekstual
(mantuq), hadits ini menunjukkan bahwa setiap amal yang tidak ada tuntunan dari
syari’at maka amalan tersebut tertolak. Secara inplisit (mafhum), hadits ini
menunjukkan bahwa setiap amal yang ada tuntunan dari syari’at maka amalan
tersebut tidak tertolak. …Jika suatu amalan keluar dari koriodor syari’at, maka
amalan tersebut tertolak.
Dalam sabda beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam ‘yang
bukan ajaran kami’ mengisyaratkan bahwa setiap amal yang dilakukan hendaknya
berada dalam koridor syari’at. Oleh karena itu, syari’atlah yang nantinya
menjadi hakim bagi setiap amalan apakah amalan tersebut diperintahkan atau
dilarang. Jadi, apabila seseorang melakukan suatu amalan yang masih berada
dalam koridor syari’at dan mencocokinya, amalan tersebutlah yang diterima.
Sebaliknya, apabila seseorang melakukan suatu amalan keluar dari ketentuan
syari’at, maka amalan tersebut tertolak. (Jami’ul Ulum wal Hikam,
hal. 77-78)
Jadi, ingatlah wahai saudaraku. Sebuah amalan dapat diterima jika memenuhi
dua syarat ini yaitu harus ikhlas dan sesuai dengan tuntunan Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam. Jika salah satu dari dua syarat ini tidak ada, maka
amalan tersebut tertolak.
PENGERTIAN BID’AH
[Definisi Secara Bahasa]
Bid’ah secara bahasa berarti membuat sesuatu tanpa ada contoh sebelumnya.
(Lihat Al Mu’jam Al Wasith, 1/91, Majma’ Al Lugoh Al
‘Arobiyah-Asy Syamilah)
Hal ini sebagaimana dapat dilihat dalam firman Allah Ta’ala,
بَدِيعُ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ
“Allah Pencipta langit dan bumi.” (QS. Al Baqarah [2] : 117, Al An’am
[6] : 101), maksudnya adalah mencipta (membuat) tanpa ada contoh sebelumnya.
Juga firman-Nya,
قُلْ مَا كُنْتُ بِدْعًا مِنَ الرُّسُلِ
“Katakanlah: ‘Aku bukanlah yang membuat bid’ah di antara rasul-rasul’.” (QS. Al Ahqaf [46]
: 9) , maksudnya aku bukanlah Rasul pertama yang diutus ke dunia ini.
(Lihat Lisanul ‘Arob, 8/6, Barnamej Al Muhadits Al Majaniy-Asy
Syamilah)
[Definisi Secara Istilah]
Definisi bid’ah secara istilah yang paling bagus adalah definisi yang
dikemukakan oleh Al Imam Asy Syatibi dalam Al I’tishom. Beliau
mengatakan bahwa bid’ah adalah:
عِبَارَةٌ عَنْ طَرِيْقَةٍ فِي الدِّيْنِ مُخْتَرَعَةٍ تُضَاهِي الشَّرْعِيَّةَ
يُقْصَدُ بِالسُّلُوْكِ عَلَيْهَا المُبَالَغَةُ فِي التَّعَبُدِ للهِ سُبْحَانَهُ
Suatu istilah untuk suatu jalan dalam agama yang dibuat-buat (tanpa ada
dalil, pen) yang menyerupai syari’at (ajaran Islam), yang dimaksudkan ketika
menempuhnya adalah untuk berlebih-lebihan dalam beribadah kepada Allah Ta’ala.
Definisi di atas adalah untuk definisi bid’ah yang khusus ibadah
dan tidak termasuk di dalamnya adat (tradisi).
Adapun yang memasukkan adat (tradisi) dalam makna bid’ah, mereka
mendefinisikan bahwa bid’ah adalah
طَرِيْقَةٌ فِي الدِّيْنِ مُخْتَرَعَةٍ تُضَاهِي الشَّرْعِيَّةَ يُقْصَدُ
بِالسُّلُوْكِ عَلَيْهَا مَا يُقْصَدُ بِالطَّرِيْقَةِ الشَّرْعِيَّةِ
Suatu jalan dalam agama yang dibuat-buat (tanpa ada dalil, pen) dan
menyerupai syari’at (ajaran Islam), yang dimaksudkan ketika melakukan (adat
tersebut) adalah sebagaimana niat ketika menjalani syari’at (yaitu untuk
mendekatkan diri pada Allah). (Al I’tishom, 1/26, Asy Syamilah)
Definisi yang tidak kalah bagusnya adalah dari Syaikhul Islam Ibnu
Taimiyah. Beliau rahimahullah mengatakan,
وَالْبِدْعَةُ : مَا خَالَفَتْ الْكِتَابَ وَالسُّنَّةَ أَوْ إجْمَاعَ سَلَفِ
الْأُمَّةِ مِنْ الِاعْتِقَادَاتِ وَالْعِبَادَاتِ
“Bid’ah adalah i’tiqod (keyakinan) dan ibadah yang menyelishi Al Kitab dan
As Sunnah atau ijma’ (kesepakatan) salaf.” (Majmu’ Al Fatawa, 18/346,
Asy Syamilah)
Ringkasnya pengertian bid’ah secara istilah adalah suatu hal yang baru
dalam masalah agama setelah agama tersebut sempurna. (Hal ini sebagaimana
dikatakan oleh Al Fairuz Abadiy dalam Basho’iru Dzawit Tamyiz,
2/231, yang dinukil dari Ilmu Ushul Bida’, hal. 26, Dar Ar Royah)
Sebenarnya terjadi perselisihan dalam definisi bid’ah secara istilah. Ada
yang memakai definisi bid’ah sebagai lawan dari sunnah (ajaran Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam), sebagaimana yang dipilih oleh Syaikhul Islam Ibnu
Taimiyah, Asy Syatibi, Ibnu Hajar Al Atsqolani, Ibnu Hajar Al Haitami, Ibnu
Rojab Al Hambali dan Az Zarkasi. Sedangkan pendapat kedua mendefinisikan bid’ah
secara umum, mencakup segala sesuatu yang diada-adakan setelah masa
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam baik yang terpuji dan
tercela. Pendapat kedua ini dipilih oleh Imam Asy Syafi’i, Al ‘Izz bin Abdus Salam,
Al Ghozali, Al Qorofi dan Ibnul Atsir. Pendapat yang lebih kuat dari dua kubu
ini adalah pendapat pertama karena itulah yang mendekati kebenaran berdasarkan
keumuman dalil yang melarang bid’ah. Dan penjelasan ini akan lebih diperjelas
dalam penjelasan selanjutnya. (Lihat argumen masing-masing pihak dalam Al
Bida’ Al Hawliyah, Abdullah At Tuwaijiri, www.islamspirit.com)
Inilah sedikit muqodimah mengenai definisi bid’ah dan berikut kita akan
menyimak beberapa kerancuan seputar bid’ah. Pada awalnya kita akan melewati
pembahasan ‘apakah setiap bid’ah itu sesat?’. Semoga kita selalu mendapat
taufik Allah.
***
Disusun oleh : Muhammad Abduh Tuasikal, S.T.
Dimuroja’ah oleh : Ustadz Aris Munandar
Artikel www.muslim.or.id
Dimuroja’ah oleh : Ustadz Aris Munandar
Artikel www.muslim.or.id
Tidak ada komentar:
Posting Komentar