BEBERAPA CONTO
H BID’AH MASA KINI
Oleh
Syaikh Dr Sahlih bin Fauzan bin Abdullah Al-Fauzan
Syaikh Dr Sahlih bin Fauzan bin Abdullah Al-Fauzan
Di antaranya adalah :
1. Perayaan bertepatan dengan kelahiran Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam pada bulan Rabiul Awwal.
1. Perayaan bertepatan dengan kelahiran Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam pada bulan Rabiul Awwal.
2.Tabarruk (mengambil berkah) dari tempat-tempat tertentu, barang-barang
peninggalan, dan dari orang-orang baik, yang hidup ataupun yang sudah
meninggal.
3. Bid’ah dalam hal ibadah dan taqarrub kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala
Bid’ah-bid’ah modern banyak sekali macamnya, seiring dengan berlalunya zaman, sedikitnya ilmu, banyaknya para penyeru (da’i) yang mengajak kepada bid’ah dan penyimpangan, dan merebaknya tasyabuh (meniru) orang-orang kafir, baik dalam masalah adat kebiasaan maupun ritual agama mereka. Hal ini menunjukkan kebenaran (fakta) sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Bid’ah-bid’ah modern banyak sekali macamnya, seiring dengan berlalunya zaman, sedikitnya ilmu, banyaknya para penyeru (da’i) yang mengajak kepada bid’ah dan penyimpangan, dan merebaknya tasyabuh (meniru) orang-orang kafir, baik dalam masalah adat kebiasaan maupun ritual agama mereka. Hal ini menunjukkan kebenaran (fakta) sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
“Artinya : Sungguh kalian akan mengikuti cara-cara kaum sebelum kalian”
[Hadits Riwayat At-Turmudzi, dan ia men-shahihkannya]
1. Perayaan Bertepatan Dengan Kelahiran Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi
Wa Sallam Pada Bulan Rabiul Awwal.
Merayakan kelahiran Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah bid’ah,
karena perayaan tersebut tidak ada dasarnya dalam Kitab dan Sunnah, juga dalam
perbuatan Salaf Shalih dan pada generasi-generasi pilihan terdahulu. Perayaan
maulid Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam baru terjadi setelah abad ke empat
Hijriyah.
Imam Abu Ja’far Tajuddin berkata : “Saya tidak tahu bahwa perayaan ini
mempunyai dasar dalam Kitab dan Sunnah, dan tidak pula keterangan yang dinukil
bahwa hal tersebut pernah dilakukan oleh seorang dari para ulama yang merupakan
panutan dalam beragama, yang sangat kuat dan berpegang teguh terhadap atsar
(keterangan) generasi terdahulu. Perayaan itu tiada lain adalah bid’ah yang
diada-adakan oleh orang-orang yang tidak punya kerjaan dan merupakan tempat
pelampiasan nafsu yang sangat dimanfaatkan oleh orang-orang yang hobi makan”
[Risalatul Maurid fi Amalil Maulid]
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata : “Begitu pula praktek
yang diada-adakan oleh sebagian manusia, baik karena hanya meniru orang-orang
nasrani sehubungan dengan kelahiran Nabi Isa ‘Alaihis Salam atau karena alasan
cinta kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, mereka menjadikan kelahiran
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagai sebuah perayaan. Padahal tanggal kelahiran
beliau masih menjadi ajang perselisihan.
Dan hal semacam ini belum pernah dilakukan oleh ulama salaf (terdahulu).
Jika sekiranya hal tersebut memang merupakan kebaikan yang murni atau merupakan
pendapat yang kuat, tentu mereka itu lebih berhak (pasti) melakukannya dari
pada kita, sebab mereka itu lebih cinta dan lebih hormat pada Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam dari pada kita. Mereka itu lebih giat terhadap
perbuatan baik.
Sebenarnya, kecintaan dan penghormatan terhadap Rasulullah Shallallahu ‘alaihi
wa sallam tercermin dalam meniru, mentaati dan mengikuti perintah beliau,
menghidupkan sunnah beliau baik lahir maupun bathin dan menyebarkan agama yang
dibawanya, serta memperjuangkannya dengan hati, tangan dan lisan. Begitulah
jalan generasi awal terdahulu, dari kaum Muhajirin, Anshar dan Tabi’in yang
mengikuti mereka dengan baik” [Iqtida ‘Ash-Shirath Al-Mustaqim 1/615]
2. Tabbaruk (Mengambil Berkah) Dari Tempat-Tempat Tertentu, Barang-Barang
Peninggalan, Dan Dari Orang-Orang Baik, Yang Hidup Ataupun Yang Sudah
Meninggal.
Termasuk di antara bid’ah juga adalah tabarruk (mengharapkan berkah) dari
makhluk. Dan ini merupakan salah satu bentuk dari watsaniyah (pengabdian
terhadap mahluk) dan juga dijadikan jaringan bisnis untuk mendapatkan uang dari
orang-orang awam.
Tabarruk artinya memohon berkah dan berkah artinya tetapnya dan
bertambahnya kebaikan yang ada pada sesuatu. Dan memohon tetap dan bertambahnya
kebaikan tidaklah mungkin bisa diharapkan kecuali dari yang memiliki dan mampu
untuk itu dan dia adalah Allah Subhanahu wa Ta’ala. Allah-lah yang menurunkan
berkah dan mengekalkannya. Adapun mahluk, dia tidak mampu menetapkan dan
mengekalkannya.
Maka, praktek tabarruk dari tempat-tempat tertentu, barang-barang
peninggalan dan orang-orang baik, baik yang hidup ataupun yang sudah meninggal
tidak boleh dilakukan karena praktek ini bisa termasuk syirik bila ada
keyakinan bahwa barang-barang tersebut dapat memberikan berkah, atau termasuk
media menuju syirik, bila ada keyakinan bahwa menziarahi barang-barang
tersebut, memegangnya dan mengusapnya merupakan penyebab untuk mendapatkan
berkah dari Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Adapun tabarruk yang dilakukan para sahabat dengan rambut, ludah dan
sesuatu yang terpisah/terlepas dari tubuh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa
sallam, sebagaimana disinggung terdahulu, hal tersebut hanya khusus Rasulullah
di masa hidup beliau dan saat beliau berada di antara mereka ; dengan dalil
bahwa para sahabat tidak ber-tabarruk dengan bekas kamar dan kuburan beliau
setelah wafat.
Mereka juga tidak pergi ke tempat-tempat shalat atau tempat-tempat duduk
untuk ber-tabarruk, apalagi kuburan-kuburan para wali. Mereka juga tidak
ber-tabarruk dari orang-orang shalih seperti Abu Bakar Radhiyallahu ‘anhu, Umar
Radhiyallahu ‘anhu dan yang lainnya dari para sahabat yang mulia. Baik semasa
hidup ataupun setelah meninggal. Mereka tidak pergi ke Gua Hira untuk shalat
dan berdo’a di situ, dan tidak pula ke tempat-tempat lainnya, seperti
gunung-gunung yang katanya disana terdapat kuburan nabi-nabi dan lain
sebagainya, tidak pula ke tempat yang dibangun di atas peninggalan Nabi
Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Selain itu, tidak ada seorangpun dari ulama salaf yang mengusap-ngusap dan
mencium tempat-tempat shalat Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam, di
Madinah ataupun di Makkah. Apabila tempat yang pernah di injak kaki Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam yan mulia dan juga dipakai untuk shalat, tidak
ada syari’at yang mengajarkan umat beliau untuk mengusap-ngusap atau
menciuminya, maka bagaimana bisa dijadikan hujjah untuk tabarruk, dengan
mengatakan bahwa (si fulan yang wali) –bukan lagi Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wa sallam- pernah shalat atau tidur disana ?! Para ulama telah
mengetahui secara pasti berdasarkan dalil-dalil dari syariat Islam, bahwa
menciumi dan mengusap-ngusap sesuatu untuk ber-tabarruk tidaklah termasuk
syariat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam” [Lihat Iqtidha’ Al-Shirath
Al-Mustaqim 2/759-802]
3. Bid’ah Dalam Hal Ibadah Dan Taqarrub Kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Bid’ah-bid’ah yang berkaitan dengan ibadah, pada saat ini cukup banyak.
Pada dasarnya ibadah itu bersifat tauqif (terbatas pada ada dan tidak adanya
dalil), oleh karenanya tidak ada sesuatu yang disyariatkan dalam hal ibadah
kecuali dengan dalil. Sesuatu yang tidak ada dalilnya termasuk kategori bid’ah,
berdasarkan sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
“Artinya : Barangsiapa mengerjakan amalan yang tidak ada padanya perintah
kami maka dia tertolak” [Hadits Riwayat Muslim]
Ibadah-ibadah yang banyak dipraktekkan pada masa sekarang ini, sungguh
banyak sekali, di antaranya ; Mengeraskan niat ketika shalat. Misalnya dengan
membaca dengan suara keras.
“Artinya : Aku berniat untuk shalat ini dan itu karena Allah Ta’ala”
Ini termasuk bid’ah, karena tidak diajarkan oleh Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wa sallam dan karena Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman.
“Artinya : Katakanlah (kepada mereka), ‘Apakah kalian akan memberitahukan
kepada Allah tentang agamamu (keyakinanmu), padahal Allah mengetahui apa yang ada
di langit dan apa yang ada di bumi dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu”
[Al-Hujarat : 16]
Niat itu tempatnya adalah hati. Jadi dia adalah aktifitas hati bukan
aktifitas lisan. Termasuk juga dzikir berjama’ah setelah shalat. Sebab yang
disyariatkan yaitu bahwa setiap membaca dzikir yang diajarkan itu
sendiri-sendiri, di antara juga adalah meminta membaca surat Al-Fatihah pada
kesempatan-kesempatan tertentu dan setelah membaca do’a serta ditujukan kepada
orang-orang yang sudah meninggal. Termasuk juga dalam katagori bid’ah,
mengadakan acara duka cita untuk orang-orang yang sudah meninggal, membuatkan
makanan, menyewa tukang-tukang baca dengan dugaan bahwa hal tersebut dapat
memberikan manfaat kepada si mayyit. Semua itu adalah bid’ah yang tidak mempunyai
dasar sama sekali dan termasuk beban dan belenggu yang Allah Subhanahu wa
Ta’ala sekali-kali tidak menurunkan hujjah untuk itu.
Termasuk bid’ah pula yaitu perayaan-perayaan yang diadakan pada
kesempatan-kesempatan keagamaan seperti Isra’ Mi’raj dan hijrahnya Nabi
Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Perayaan-perayaan tersebut sama sekali tidak
mempunyai dasar dalam syari’at, termasuk pula hal-hal yang dilakukan khusus
pada bulan Rajab, shalat sunnah dan puasa khusus. Sebab tidak ada bedanya
dengan keistimewaannya dibandingkan dengan bulan-bulan yang lain, baik dalam
pelaksanaan umrah, puasa, shalat, menyembelih kurban dan lain sebagainya.
Yang termasuk bid’ah pula yaitu dzikir-dzikir sufi dengan segala macamnya.
Semuanya bid’ah dan diada-adakan karena dia bertentangan dengan dzikir-dzikir
yang disyariatkan baik dari segi redaksinya, bentuk pembacaannya dan
waktu-waktunya.
Di antaranya pula adalah mengkhususkan malam Nisfu Sya’ban dengan ibadah
tertentu seperti shalat malam dan berpuasa pada siang harinya. Tidak ada
keterangan yang pasti dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang amalan
khususnya untuk saat itu, termasuk bid’ah pula yaitu membangun di atas kuburan
dan mejadikannya seperti masjid serta menziarahinya untuk ber-tabarruk dan
bertawasul kepada orang mati dan lain sebagainya dari tujuan-tujuan lain yang
berbau syirik.
Akhirnya, kami ingin mengatakan bahwa bid’ah-bid’ah itu ialah pengantar
pada kekafiran. Bid’ah adalah menambah-nambahkan ke dalam agama ini sesuatu
yang tidak disyari’atkan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala dan RasulNya. Bid’ah
lebih jelek dari maksiat besar sekalipun. Syetan akan bergembira dengan
terjadinya praktek bid’ah melebihi kegembiraannya terhadap maksiat yang besar.
Sebab, orang yang melakukan maksiat, dia tahu apa yang dia lakukannya itu
maksiat (pelanggaran) maka (ada kemungkinan) dia akan bertaubat. Sementara
orang yang melakukan bid’ah, dia meyakini bahwa perbuatannya itu adalah cara
mendekatkan diri kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala, maka dia tidak akan
bertaubat. Bid’ah-bid’ah itu akan dapat mengikis sunnah-sunnah dan menjadikan
pelakunya enggan untuk mengamalkannya.
Bid’ah akan dapat menjauhkan dari Allah Subhanahu wa Ta’ala dan akan
mendatangkan kemarahan dan siksaanNya serta menjadi penyebab rusak dan
melencengnya hati dari kebenaran.
SIKAP TERHADAP AHLI BID’AH
Diharamkanmengunjungi dan duduk-duduk dengan ahli bid’ah kecuali dengan maksud menasehati dan membantah bid’ahnya. Karena bergaul dengan ahli bid’ah akan berpengaruh negatif, dia akan menularkan permusuhannya pada yang lain. Kita wajib memberikan peringatan kepada masyarakat dari mereka dan bahaya mereka. Apabila kita sudah bisa menyelamatkan dan mencegah mereka dari praktek bid’ah. Dan kalau tidak, maka diharuskan kepada para ulama dan pemimpin umat Islam untuk menentang bid’ah-bid’ah dan mencegah para pelakunya serta meredam bahaya mereka. Karena bahaya mereka terhadap Islam sangatlah besar. Suatu hal yang perlu pula untuk diketahui bahwa negara-negara kafir sangat mendukung para pelaku bid’ah dan membantu mereka untuk menyebar luaskan bid’ah-bid’ah mereka dengan berbagai macam cara, sebab didalamnya terdapat proses penghangusan Islam dan pengrusakan terhadap gambaran Islam yang sebenarnya.
Diharamkanmengunjungi dan duduk-duduk dengan ahli bid’ah kecuali dengan maksud menasehati dan membantah bid’ahnya. Karena bergaul dengan ahli bid’ah akan berpengaruh negatif, dia akan menularkan permusuhannya pada yang lain. Kita wajib memberikan peringatan kepada masyarakat dari mereka dan bahaya mereka. Apabila kita sudah bisa menyelamatkan dan mencegah mereka dari praktek bid’ah. Dan kalau tidak, maka diharuskan kepada para ulama dan pemimpin umat Islam untuk menentang bid’ah-bid’ah dan mencegah para pelakunya serta meredam bahaya mereka. Karena bahaya mereka terhadap Islam sangatlah besar. Suatu hal yang perlu pula untuk diketahui bahwa negara-negara kafir sangat mendukung para pelaku bid’ah dan membantu mereka untuk menyebar luaskan bid’ah-bid’ah mereka dengan berbagai macam cara, sebab didalamnya terdapat proses penghangusan Islam dan pengrusakan terhadap gambaran Islam yang sebenarnya.
Kita memohon kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala, semoga Dia akan menolong
agamaNya, meninggikan kalimatNya, serta menghinakan musuh-musuhNya.
Semoga shalawat dan salam tercurahkan keharibaan Nabi Muhammad
Shallallallahu ‘alaihi wa sallam, keluarga dan sahabat-sahabat beliau.
[Disalin dari buku At-Tauhid Lish-Shaffits Tsani Al-‘Aliy, Penulis Syaikh
Dr Sahlih bin Fauzan bin Abdullah Al-Fauzan, edisi Indonesia Kitab Tauhid-3,
Penerjemah Ainul Haris Arifin, hal 152-159, Darul Haq]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar